Aku pamit.
-Sebuah kisah cinta nyata-
Aku pamit.
Kalimat itu sudah diketik, hampir saja dikirim pada sebuah nomor yang selama ini cukup spesial baginya. Tapi kalimat berisi dua kata itu dihapus lagi. ia justru mematikan handphonenya.Menyimpan di bawah bantal. Kemudian, ia menangis. Menangis pelan namun deras. Tidak ada artinya kata pamit.Semua berawal tanpa kata, selesai pun tanpa kata, pikirnya. Perempuan itu lalu sejenak terdiam, menatap dinding birunya yang mengusam, membaca lembar demi lembar catatannya yang menuliskan semua isi hatinya.
Tiga tahun lalu, tanpa kata cinta layaknya sepasang muda-mudi menjalin tali asmara, dua orang ini justru saling menjauh, memilih menghindari perasaan mereka, sampai suatu waktu, tabir-tabir tersingkap dan mereka pun tak mampu menutupi lagi apa yang ada di hati mereka. Tidak ada tali apapun yang mengaitkan hati mereka, sungguh tidak ada. Atau kalaupun ada, mungkin tali itu yang disebut orang-orang bernama perasaan.
Perempuan itu, tiga tahun menyimpan perasaannya. Bukan waktu yang lama. Sungguh singkat sebenarnya.
Tidak ada yang tahu, tapi sesosok laki-laki yang ia beri nama “Langit” mengerti dan memahami. Sesosok laki-laki itu membuatnya memiliki harapan. Jauh perjalanan mereka. Harapan-harapan itu menggantung dalam doa.
Bukan ia berhenti mencintai Langitnya, tapi karena ia mengerti satu hal. BELUM SAATNYA MENCINTAI LANGIT. Sungguh belum saatnya. Dan kali ini, ia benar-benar menghayati kalimat itu. langit telah menjadi mendung. Aku pamit. Kalimat itu diketiknya lagi. Tapi satu persatu hurufnya dihilangkan lagi dengan tombol backspace. ia akhirnya terdiam. ia tahu hatinya sungguh lemah. Berkali-kali kata pamit itu terucap, tapi perasaan itu belum juga mau pamit dari tuannya.
Maka ia memutuskan untuk diam, berusaha menjadi tegar. Diam-diam, ia pamit pada perasaan yang pernah ia sebut cinta. Diam-diam, ia pamit pada kata penantian yang pernah memenuhi halaman buku catatannya. Tiba-tiba, ia membiarkan semuanya berjalan sebagaimana mestinya tanpa perasaan menyesal, apalagi takut kehilangan. Diam-diam, ia mulai berhenti mengamati gradasi warna biru yang ditampakkan Langit. Diam-diam, ia menutup semua ceritanya sendirian. ia menjadi lebih tegar.
ia tengah asyik bercerita dengan taman bunganya. ia tengah asyik bercengkerama dengan bunga-bunganya yang mekar. tengah asyik mensyukuri karunia-Nya. tengah asyik belajar bagaimana caranya menjadi bunga yang mekar dan indah untuk dipetik.
Tidak ada yang berubah. ia memilih pamit. Dan lihatlah, Allah menguatkan hatinya. Mungkin, di suatu waktu, hari, dan tempat yang dirangkai-Nya, ia akan kembali bertemu dengan Langit. ia harus menatap birunya, bahkan bercengkerama dengan matahari dan bulan bintangnya. Bahkan, mungkin, ia juga berkesempatan untuk menjelajahi isi Langit. Mungkin. Jika seseorang yang ia sebut Langit itu dia yang membuat perempuan itu menangis malam ini, maka memang garis Allah menitahkan begitu. Jika bukan, Langit itu pasti tetap biru dan membuatnya bahagia. Karena takdir Allah tidak akan pernah tertukar.
perempuan itu lalu tersenyum di antara bulir-bulir air matanya. Sungguh, ia tidak tahu apa yang ada di dalam hati seseorang yang ia sebut Langit itu. Mungkin, ia masih menyimpan harapan. Mungkin, di dalam hati perempuan itu juga. ia pun tidak tahu isi hatinya.
Kalau takdir sudah berkehendak, maka tidak ada apapun yang bisa memisahkan. Melalui pena ini, kukembalikan hati yang pernah kujaga.Kukembalikan nama yang bertahun membuatku tersenyum juga menangis. Kukembalikan kisah pada keindahan skenario-Nya. Aku ingin berbahagia di taman bungaku. Dan kamu, berbahagialah di hamparan luasmu. Bawa cahayamu~Tanpa sepatah kata pun, aku pamit. Ia pamit pada hatinya sendiri.Tidak ada yang perlu disesali dari sebuah perasaan yang menyesakkan, karena fitrahnya manusia mengalami itu. Tapi membiarkan rasa sesak berlarut dalam penantian juga tidak baik. Lebih baik menyibukkan diri belajar, menyibukkan diri memperbaiki kualitas hati dan diri, meyibukkan diri bercerita bersama taman-taman bunga.aku mungkin nanti juga akan jatuh lagi. Mungkin aku akan menangis lagi. Tapi, semoga tulisan ini membuatku ingat, bahwa takdir-Nya tidak akan pernah tertukar. Semoga tulisan ini membuatku tegar. Semoga membuat tegar pula perempuan-perempuan lain yang tengah jengah oleh rasa sakit, rindu, galau, dan perasaan lain karena “Langit” mereka.
Kuawali cerita ini dari sebuah “selesai”. Bismillah..
By Ahimsa Azaleave
Komentar
Posting Komentar