Sekedar
Mahasiswa Merakyat
Bagi sebagian anak kos, menonton tv adalah sebuah hal yang mewah. Betapa terkadang untuk sekedar menonton klub kesayangannya berlaga, mereka harus mengungsi ke burjo atau kos yang lebih sejahtera, atau menginap di kampus dan streaming dengan wifi gratis yang ada.
Selain itu banyaknyaa tugas dan ujian kerapkali membuat niat untuk menonton tv juga redup. Jadilah momen liburan ini mengevolusi mahasiswa menjadi mahluk mahluk sufi, suka tifi.
Adalah malam ini, ada satu berita hits yang menjadi isu nasional. Disiarkan di salah satu tv nasional yang memang beda, semua rakyat indonesia barangkali mulai mengetahui aksi yang akan dilakukan kawan kawan mahasiswa esok hari insyaA. Ada begitu banyak pro kontra, dan tak sedikit pihak yang dengan kead hominemannya menjelek-jelekkan mahasiswa. Ah, tapi saya yakin, kawan kawan kita berniat yang terbaik dalam aksi esok hari. Saya yakin, tak satupun dari mereka akan menghadirkan raga untuk kepentingan diri mereka sendiri, akan tetapi pastilah niat mereka tulus benar-benar untuk memperjuangkan kesejahteraan bumi pertiwi.
Akan tetapi tetaplah kita sebagai mahasiswa untuk selalu berinstropeksi. Karena ditakutkan, apa yang kita sampaikan tak lebih dari suara kerongkongan, sementara hati kita gersang. Sehingga naudzubillah ketika kita yang mendapat kursi nantinya kita tak lebih baik dari mereka, pemimpin pemimpin kita sebelumnya.
Salah satu yang kadang mengusik perhatian saya adalah gaya hidup kita mahasiswa, yang kadang kalau dilihat kurang mencerminkan keadaan kita sebagai mahluk yang merakyat. Dewasa ini, banyak di antara kita yang barangkali begitu suka dengan gaya hidup yang kekinian. Makan selalu nyari tempat yang layak buat masuk instagram stories. Tempat kongkow asik selalu dipilih mall atau tempat hedon yang 'uploadable'. Biar hits kalau foto pake hp apel terbaru katanya.
Pun untuk sekedar mencari air mineral pun, kita masih lebih suka mampir ke toko ritel yang hits dengan kontroversinya. Lebih praktis katanya. Takut 'ditutuk' kalau beli di toko yang ga ada harganya. Dan sejuta alasan lain pun diutarakan.
Bahkan kalau dihitung, pengeluaran kita sebagai mahasiswa acapkali lebih besar dibanding gaji UMR seorang bapak yang harus membiayai anak dan istrinya. Itupun kadang kita masih mengeluh ke orang tua, 'mah, pah, temenku hpnya kalau buka kunci pakai sidik jari loh, masak hpku masih hp buat ngelempar hewan gini'. Ah, betapa sering tidak bersyukurnya kita.
Maka, mungkin di tengah hingar bingar isu nasional ini, mari kita juga berinstropeksi. Tak salah memilih tempat makan yang higinis dan 'instagramable', tapi sesekali mari kita belajar menikmati makan di dalam syahdunya dencitan 'gedek'. Tak apa kita membeli barang di toko ritel ternama, tapi akan lebih baik sesekali kita membeli di toko tetangga, meski mungkin agak lebih mahal dan tak ada AC disana. Mari belajar untuk sesekali membeli di toko biasa, meski jadi membuat tidak ada yg menawari 'mau beli pulsa sekalian kak?'.
Mari kita sisihkan sebagian rezeki dan uang jajan kita yang kadang lebih besar dari UMR ini. Untuk kita bagikan. Karena kenikmatan dunia tertinggi ialah, saat kita mampu merasakannya dengan berbagi. Mari belajar untuk menjadi Mahasiswa yang lebih Merakyat.
Selamat malam, selamat beraksi esok hari, dan mari berdoa untuk bumi pertiwi.
Klaten, 11 Januari tapi bukan lagunya Gigi.
#KissKASTRAD
#MariBerbagi
Komentar
Posting Komentar